Stabilisasi Harga Minyak Goreng

Jakarta - Di tengah kondisi pandemi Covid-19 yang mulai membaik, masyarakat dihadapkan pada masalah kenaikan harga minyak goreng yang merupakan salah satu kebutuhan pokok. Kenaikan harga minyak goreng mulai dirasakan sejak Oktober 2021. Kenaikan harga minyak goreng menyumbang inflasi sebesar 0,04 persen pada Maret 2022.

Sumbangsih kenaikan harga minyak goreng terhadap inflasi tertinggi terjadi pada November dan Desember 2021 yaitu masing-masing sebesar 0,08 persen. Indeks harga konsumen sub kelompok makanan yang terdapat komoditas minyak goreng tercatat mengalami kenaikan dari 107,10 pada September 2021 menjadi 112,34 pada Maret 2022. Artinya kenaikan harga sub kelompok makanan selama periode tersebut mencapai 4,89 persen.
Kenaikan harga minyak goreng disebabkan faktor eksternal dan faktor internal. Faktor eksternal disebabkan oleh meningkatnya harga bahan baku minyak goreng yaitu minyak kelapa sawit mentah dunia atau crude palm oil (CPO). Kenaikan harga CPO tak lepas dari kenaikan harga minyak nabati (seperti minyak kedelai, minyak bunga matahari, dan minyak kanola) dikarenakan menurunnya pasokan minyak nabati dunia.

Sedangkan faktor internal yaitu dikarenakan sebagian besar entitas produsen minyak goreng dan CPO berbeda. Akibatnya penentuan harga oleh produsen minyak goreng sangat tergantung dengan harga CPO. Lonjakan harga CPO menyebabkan kenaikan tajam harga minyak goreng.

Berdasarkan Perpres No 17 Tahun 2015 tentang Penetapan dan Penyimpanan Barang Kebutuhan Pokok dan Barang Penting, minyak goreng merupakan salah satu kebutuhan pokok hasil industri selain gula dan tepung terigu. Dalam Pasal 25 UU No 7 Tahun 2014 dijelaskan bahwa Pemerintah dan Pemerintah Daerah mengendalikan ketersediaan barang kebutuhan pokok dan barang penting dalam jumlah yang memadai, mutu yang baik, dan harga yang terjangkau.

Pemerintah pusat dapat meminta data dan informasi yang sebenarnya kepada pelaku usaha mengenai persediaan barang tersebut. Hal ini menunjukkan intervensi negara/pemerintah diperlukan dalam rangka menjamin ketersediaan dan stabilisasi harga jika mekanisme pasar tidak berjalan sebagaimana mestinya.

Upaya menekan harga minyak goreng melalui kebijakan penetapan HET minyak goreng sebesar Rp 14 ribu per liter dan domestic market obligation (DMO) sebesar 30 persen bagi produsen atau eksportir CPO belum berhasil mengembalikan harga minyak goreng. Masyarakat tidak hanya dihadapkan pada kenaikan harga minyak goreng yang belum kembali ke harga normal, tetapi juga kelangkaan barang tersebut di pasaran.

Kelangkaan minyak goreng disebabkan oleh berbagai hal, di antaranya adanya panic buying, penjualan bersyarat, dugaan hambatan akses, dan masalah distribusi. Untuk mengatasi kelangkaan tersebut, pemerintah menetapkan harga minyak goreng kemasan mengikuti harga pasar sedangkan HET minyak goreng curah sebesar Rp 14 ribu per liter. Hal ini ditetapkan berdasarkan Permendag No 11 tahun 2022 tanggal 16 Maret 2022.

Setelah kebijakan tersebut dikeluarkan, stok minyak goreng khususnya dalam bentuk kemasan melimpah di pasaran namun dengan harga yang tinggi. Penentuan harga minyak goreng kemasan melalui mekanisme pasar secara instan dapat mengatasi kelangkaan barang tersebut, tetapi menurunkan daya beli masyarakat, khususnya yang berada dalam rentang garis kemiskinan.

Kenaikan harga minyak goreng juga secara langsung menaikkan biaya produksi pelaku usaha kuliner dan industri makanan sehingga menyebabkan berkurangnya profit usaha yang diperoleh. Pelaku usaha terpaksa menaikkan harga produk atau menurunkan kuantitas guna menjaga keberlangsungan usaha mereka. Hal tersebut berdampak terhadap menurunnya daya beli masyarakat selaku konsumen.

Kebijakan yang Tepat

Pemerintah perlu segera memformulasikan kebijakan yang tepat sehingga harga minyak goreng kembali normal. Kebijakan DMO sebesar 30 persen untuk produsen atau eksportir CPO semestinya tidak menjadi masalah ketersediaan bahan baku produsen minyak goreng.

Harga CPO dari kebijakan DMO kiranya perlu diatur oleh pemerintah sehingga entitas produsen minyak goreng dapat menjual produk minyak goreng sawit kemasan denga harga yang wajar dan normal. Tentunya mempertimbangkan biaya input produksi, inflasi, serta margin yang diterapkan oleh perusahaan industri minyak goreng.

Pengawasan dan pemberian sanksi tegas perlu melibatkan berbagai pemangku kepentingan, baik kepolisian, kejaksaan, satgas pangan, dan kementerian terkait. Pengawasan perlu dilakukan dari hulu hingga hilir, mulai dari produksi tandan buah segar (TBS) kelapa sawit, produksi CPO, penerapan DMO, produksi minyak goreng, serta utamanya proses pendistribusian minyak goreng.

CPO Indonesia memiliki keunggulan komparatif dibandingkan negara produsen sawit lainnya. Kenaikan harga CPO dunia memang berdampak positif bagi petani dan pengusaha sawit. Peningkatan nilai ekspor CPO dan turunannya tentunya meningkatkan penerimaan negara dari pajak ekspor. Nilai ekspor minyak kelapa sawit pada 2021 mencapai 28,52 miliar dolar AS (BPS, 2022). Devisa yang diperoleh dari kegiatan ekspor tersebut sangat berkontribusi dalam pencapaian surplus neraca perdagangan.

Dampak positif dari kenaikan harga CPO dunia semestinya bisa dimanfaatkan dengan sebaik-baiknya tanpa mengorbankan pasar domestik. Regulasi harga CPO dalam negeri diperlukan untuk menjaga harga CPO yang normal dan wajar sehingga tercipta efisiensi ekonomi. Semua pihak diuntungkan baik produsen minyak goreng maupun konsumen. Produsen memperoleh margin keuntungan yang wajar dan konsumen mendapatkan minyak goreng dengan harga normal dan kompetitif serta mutu barang yang berkualitas.

Dengan harga minyak goreng dalam negeri yang kembali normal diharapkan daya beli masyarakat kembali meningkat. Selain itu, penurunan biaya produksi dapat meningkatkan gairah dan keuntungan bagi pelaku usaha yang menggunakan minyak goreng sebagai salah satu bahan bakunya. Hal tersebut tentunya memberikan multiplier effect dalam peningkatan roda perekonomian nasional.

Kenaikan tajam harga minyak goreng mendorong terjadinya inflasi. Kolaborasi pengawasan dan evaluasi ketersediaan dan harga barang kebutuhan pokok dan barang penting perlu dilakukan secara sistematis dan terarah. Hal tersebut guna menjaga pasokan barang dan inflasi yang terkendali.

Ada sebuah quote yang menarik dari seorang ekonom Jerman. Inflation is like toothpaste. Once it's out, you can hardly get it back in again. Inflasi itu seperti pasta gigi. Setelah keluar, Anda hampir tidak bisa memasukkannya kembali (Karl Otto Pohl, Former West German Central Banker). Semoga kebijakan dan segala usaha yang dilakukan pemerintah, khususnya terkait barang kebutuhan pokok dan barang penting, dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat.

Baca artikel detiknews, "Stabilisasi Harga Minyak Goreng" selengkapnya https://news.detik.com/kolom/d-6082872/stabilisasi-harga-minyak-goreng.

Download Apps Detikcom Sekarang https://apps.detik.com/detik/